Super high way information merupakan fakta yang mengisyaratkan tentang dinamika ruang global yang mendadak cair. Semua informasi teraktual yang tersedia secara virtual dapat diakses oleh setiap lapisan masyarakat. Penetrasi teknologi digital ini menjadikan bumi terpolar secara linier menjadi satu kesatuan dalam gelombang teknologi informasi. Saat ini setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan perubahan. Jika dahulu perubahan dikendalikan oleh elite (penguasa), namun sekarang civil society (masyarakat) juga memegang peranan penting dalam proses perubahan sosial karena saling terkoneksi satu sama lain untuk menggerakkan massa secara luas.
Determinasi perkembangan teknologi informasi menembus ruang batas publik, tak terkecuali dalam bidang politik. Perkembangan teknologi informasi menghasilkan perubahan besar dalam pengalaman politik masyarakat. Konsep pendesainan ruang virtual demokrasi menyajikan bentuk nyata dari demokrasi elektronik sebagai penopang komunikasi politik. Fuchs dan Trottier (2015) menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi penyelenggaraan negara bertumpu pada partisipasi publik, maka pemerintah (state) pada dasarnya memiliki peran sebagai wasit yang mengatur kehendak warga negara. Kehadiran negara melalui pemerintah dibentuk berdasarkan kehendak publik yang mengatur individu sebagai warga negara dan kelompok yang berlomba-lomba untuk memaksimalkan kepentingan mereka. Dalam relasi posisi tersebut, media (baik media massa konvensional dan media sosial) dapat berperan menjadi pembentuk opini publik. Sehingga dalam kehidupan media sosial saat ini, kekuatan daya tahan suatu negara dan politik sering diadu, diuji, dan dipertentangkan di media sosial oleh masyarakat online (netizen).
Demokrasi elektronik (virtual) yang sedang dan akan berkembang pada dasarnya menandakan kepedulian warga negara terhadap proses demokrasi. Demokrasi virtual dikenal sebagai bentuk kebebasan yang ada dalam dunia virtual. Ruang virtual yang tersedia merupakan sarana untuk menyatakan visi dan misi, ukuran ataupun persoalan demokrasi menurut versi masing-masing individu. Terobosan demokrasi yang disalurkan melalui sarana digital sepertinya sebagai bentuk upgrading kapasitas warga negara untuk meningkatkan dan mengembangkan gerakan-gerakan sosial. Titik temu antara demokrasi dan teknologi ada pada kata partisipasi, dengan kata lain demokrasi dapat berjalan secara maksimal ketika adanya partisipasi politik dari warga negara dan didukung dengan keteserdiaan teknologi digital. Dalam konteks dinamika demokrasi di Indonesia, menjelang hajatan politik tahun 2019 ini, ruang publik menjadi ramai dengan adanya perbincangan tentang pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden. Tak terkecuali di media sosial, di mana saat ini sebagian besar masyarakat aktif di dalamnya untuk mengikuti perkembangan terbaru tentang dunia politik. Fenomena ini menandakan terjadinya migrasi politik masyarakat Indonesia yang mulai memanfaatkan perkembangan teknologi sebagai sarana untuk mengakses perkembangan terbaru tentang dinamika politik nasional.
Pesta demokrasi kali ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Munculnya istilah generasi milenial tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi proses demokrasi yang sedang berlangsung. Posisi generasi milenial tentu sangat diperhitungkan pada tahun politik sekarang ini. Generasi milenial adalah bagian dari penentu keberhasilan dan kemajuan demokrasi. Terlebih lagi arus demokrasi yang mulai bergerak dalam ranah virtual menjadikan dinamika perkembangan politik pada saat ini semakin menarik. Alexis de Toqcueville (2013) menyatakan bahwa generasi milenial disebut sebagai “digital native” karena lahir dan tumbuh berbarengan dengan berkembangnya teknologi. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2018, jumlah pemilih milenial mencapai 70-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Artinya terdapat sekitar 35-45% suara generasi milenial yang akan menentukan siapa pemimpin pada masa mendatang.
Karakteristik yang kuat dari kelompok milenial adalah tingginya angka literasi dan keterlibatan mereka di internet. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 oleh Pusat Penelitian Alvara Indonesia menunjukkan bahwa generasi milenial Indonesia memiliki karakteristik yang hampir sama dengan milenial Amerika. Milenial Indonesia memanfaatkan sumber digital untuk mengetahui dan memahami politik. Artinya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah menyebabkan pergeseran cara berdemokrasi dengan meningkatnya antusias dan partisipasi masyarakat melalui dunia virtual. Sehingga saat ini demokrasi virtual menjadi suatu bentuk fenomena yang luar biasa dalam catatan sejarah demokrasi di Indonesia.
Dinamika demokrasi virtual yang ditunjukkan oleh generasi milenial membuat para kandidat yang akan bertarung dalam pesta demokrasi kali ini harus memikirkan cara terbaik untuk memperoleh perhatian dan simpati dari para pemilih milenial. Tentunya hal ini akan menjadi tantangan yang luar biasa bagi para kandidat beserta tim suksesnya. Pada dasarnya tidak semua generasi milenial tertarik membahas hal yang berhubungan dengan politik. Paradigma yang berkembang menyebutkan generasi milenial digambarkan sebagai generasi yang apatis. Perspektif para milenial adalah apakah politik dapat bermanfaat bagi kebutuhan kreativitas dan imajinasi inovatif mereka. Idealisme yang berkembang dalam politik milenial adalah tentang proses politik yang berdampak nyata dan langsung bagi mereka.
Di tengah pandangan bahwa generasi milenial adalah generasi yang apatis terhadap politik, di belahan dunia yang lain justru sedang menunjukkan naik daunnya politik anak muda atau politik milenial terlepas dari apapun pandangan dan ideologi politik yang mereka yakini. Sejarah mencatat bahwa Emmanuel Macron (39) bisa menjadi presiden termuda Prancis, atau Sebastian Kurtz (31) yang disebut sebagai pemimpin dunia termuda, atau mungkin Nathan Law (23) pada usianya yang begitu muda mampu mengantongi 50 ribu suara dan menjadi anggota parlemen Hong Kong. Tren politik milenial di dunia sebenarnya bisa diartikan sebagai membaiknya kesadaran politik milenial. Akan tetapi pada kenyataannya pergerakan partisipasi politik milenial masih dalam fase stagnan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku lembaga negara yang menyelenggarakan pemilu harus bergerak secara massif dalam mensosialisasikan pentingnya partisipasi pemilih milenial dalam proses pemilihan umum nanti. KPU harus memastikan bahwa tingkat partisipasi pemilih milenial meningkat sehingga angka golput semakin menurun. Hal terpenting yang harus dilakukan KPU adalah bagaimana memberikan edukasi kepada para pemilih dengan mengemas secara menarik informasi-informasi yang akan disampaikan untuk disebarluaskan melalui media digital sehingga seluruh lapisan masyarakat khususnya para pemilih milenial bisa mengakses informasi tersebut. Hal ini bisa menjadi salah satu cara alternatif dalam upaya meningkatkan partisipasi pemilih milenial.
Konsep demokrasi virtual berkembang dengan adanya transformasi cara berdemokrasi yang ditunjukkan oleh generasi milenial. Partisipasi politik generasi milenial dinilai mempunyai karakteristik tersendiri. Partisipasi yang ditunjukkan tidak selalu tentang bergabung dengan partai politik atau terlibat politik praktis. Dengan adanya ruang virtual berupa media sosial, seluruh lapisan masyarakat khususnya milenial bisa berpartisipasi dalam politik dengan mengikuti dan mengomentari isu-isu politik terkini. Bisa saja partisipasi yang dilakukan berupa donasi, petisi, ataupun bergabung dengan forum diskusi. Media digital dalam era Revolusi Industri 4.0 harus menjadi tempat yang memberikan ruang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh edukasi dan juga menjadi ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Dalam konteks perpolitikan sekarang ini, media digital bisa menjadi tempat pertama untuk mengundang para generasi muda untuk terjun ke dunia politik. Fungsi media sosial tidak lagi sebagai saluran pertemanan, tetapi telah merangkap sebagai media edukatif.
Dalam pandangan pola komunikasi politik, generasi milenial cenderung kurang tertarik dengan model komunikasi konvensional yang searah, sehingga perlu dikemas model komunikasi politik yang dinamis, hal ini juga dapat berwujud dialogis, testimoni maupun visual kreatif. Sosialisasi dalam konteks kampanye politik dengan gaya formal dan normatif mulai dihindari oleh generasi milenial. Generasi milenial memiliki keberanian dan kemampuan dalam mengelola isu dan opini di ruang publik dengan berbagai metodenya, baik dari persoalan pribadi, isu-isu sosial dan politik, hingga terhadap proses pengambilan kebijakan publik. Generasi milenial menggunakan berbagai saluran aspirasi yang tersedia, bahkan dapat menciptakan sendiri media alternatif. Nilai dan gagasan idealis menjadikan generasi ini lebih kritis menilai berbagai fenomena di sekitarnya. Disisi lain perlu diperhatikan bahwa era digital telah memberi peluang penyebaran bahasa dan informasi sebagai energi kebaikan atau kejahatan dengan potensi yang sama besarnya. Realitasnya praktik kontestasi komunikasi politik saat ini masih dihantui oleh dangkalnya kearifan dalam berpolitik, sehingga ekspresi politik diwarnai oleh politik saling serang secara langsung maupun saling serang di media sosial dengan menebar disinformasi atau yang kita kenal dengan hoaks. Untuk itu dalam rangka mencipatakan suasana demokrasi yang kondusif, seluruh lapisan masyarakat harus diberikan edukasi. Polri dan TNI harus menjaga netralitas, demikian pula Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus menunjukkan kinerja terbaiknya sebagai institusi negara yang mampu berperan sebagai wasit yang adil dan diterima oleh semua peserta kontestasi politik dan tentunya dapat diterima oleh rakyat secara menyeluruh.
Sebagai generasi muda, saya berpendapat bahwa pentingnya sebuah edukasi politik bagi para milenal. Dunia virtual bisa menjadi pilihan yang tepat untuk mengeskpresikan demokrasi politik bagi para milenial. Dengan proses demokrasi virtual yang sedang berlangsung, tentunya generasi milenial harus bisa memilah mana proses demokrasi yang sesuai dengan konstitusi dan mana proses demokrasi yang menyimpang dari ketentuan konstitusi. Generasi milenial harus melek politik dan tidak boleh terlibat dalam praktik “politik kotor” berupa politik identitas maupun politik praktis. Proses demokrasi yang berlangsung harus bermuara untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, termasuk sebagai upaya membangun pencerahan dan kesadaran bagi rakyat melalui kesantunan kata-kata dan perilaku yang beradab serta selalu menunjukkan kearifan dalam berpolitik. Para generasi milenial harus memanfaatkan media virtual sebagai akses dalam menunjukkan partisipasi politiknya. Hal terpenting yang menjadi kewajiban kita semua adalah bagaimana memaknai proses demokrasi politik ini dengan melibatkan dan menginternalisasikan keluhuran nilai dalam mengelola tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan prinsip etika, keadilan, toleransi, dan kebersamaan.
Komentar
Posting Komentar